Ibu sering bercerita tentang sahabat kecilnya yang mengembara menuju bintang-bintang.
Ibu mengajakku ke balkon pada malam hari ketika ayah sudah tidur dan kami berdua akan duduk memandangi langit yang penuh dengan bintang.
Bintang-bintang selalu bergerak. Ibu mengecup keningku ketika aku mengatakan hal itu di suatu malam musim kemarau yang cerah, kemudian dia akan memujiku dan menyebutku pintar, padahal apa susahnya mengamati pergerakan bintang?
Ibu mengatakan, semua hal di semesta ini bergerak. Kata ibu, yang ibu bilang dia diberitahu temannya yang pergi menuju bintang-bintang, tempat aku, kau, kita semua, adalah sebuah planet anomali yang mengitari bintang muda membosankan di dalam gugus bintang yang jumlah bintangnya tidak terlalu banyak, di sebuah galaksi yang nanti akan bertabrakan dengan galaksi tetangganya. Kata ibu, yang kata sahabatnya, kita berada di tepi lengan Orion galaksi kita. Selalu bergerak. Empat puluh juta tahun lamanya di tepi lengan Orion, dan delapan puluh juta tahun lamanya di luar lengan Orion.
Aku bertanya bagaimana sahabatnya bisa tahu semua itu, dan ibu hanya menjawab, ada lebih banyak lagi yang sahabatnya tahu tentang kosmos.
Aku menyukai ketika ibuku menceritakan tentang kosmos, tidak seperti ayah yang sangat tidak peduli dengan hal itu. Malahan kurasa ayah penganut kepercayaan bumi itu datar. Tapi aku menyayangi ayah.
“Ceritakan tentang sahabat ibu. Di mana dia saat ini?” Ibu selalu diam dan memandang jauh ke arah bintang-bintang ketika aku memintanya bercerita tentang sahabatnya.
“Dia mengendarai pesawat yang sangat bercahaya dan menjelajah bintang-bintang.”
“Kenapa kita tidak melihatnya kalau dia mengendarai pesawat yang bercahaya?”
Ibu memelukku, membenarkan letak selimut yang kami berdua kenakan bersama. “Karena sangat jauh, Sayang. Jauh sekali. Mungkin suatu saat kita akan melihatnya menyerupai titik kecil seperti bintang.”
“Saat dia kembali?”
Ibu menggeleng. “Tidak akan kembali.” Suara ibu terdengar sedih. “Cahaya yang suatu saat kita lihat barangkali adalah cahaya dari masa lalunya. Cahaya memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa kita lihat.”
“Aku bingung.”
“Akan ibu ceritakan tentang kecepatan cahaya. Itu akan sedikit… lebih membingungkan.”
“Di mana dia sekarang?” aku tidak mau tahu tentang kecepatan cahaya. Aku mau tahu di mana sahabat kecil ibu berada saat ini.
“Ibu tidak tahu secara pasti, Sayang. Jika pesawatnya terbang dengan sangat cepat sampai mendekati kecepatan cahaya, dia bisa berada jauh di masa depan.”
Aku menoleh ke wajah ibu. “Bisa seperti itu?”
Ibu mengangguk. Wajahnya terlihat sangat sedih entah apa yang membuatnya sedih. Oh aku tahu, pasti dia merindukan sahabat kecilnya yang pergi ke masa depan itu. “Jika dia kembali, Ibu akan senang?”
“Sangat… senang.” Aku rasa sebentar lagi ibu akan menangis yang berarti dia sangat sedih.
“Aku akan menyusulnya, menemukannya, dan mengajaknya kembali.”
****
Ini hari pertamaku masuk sekolah. Semua anak yang ada di sini bukan temanku, tetapi pasti nanti akan menjadi temanku. Ada guru wanita dengan senyuman ramah. Dia meminta satu per satu dari kami maju dan memperkenalkan diri. Banyak yang malu. Banyak yang takut. Bahkan ada yang menangis. Aku tidak malu. Tidak takut. Tidak menangis. Aku maju ke depan.
“Namaku Alnair. Aku suka menguncir dua rambutku. Kata ibuku aku cantik. Oh iya, namaku diambil dari nama sebuah bintang yang sangat indah. Aku dan ibuku sering mengamatinya di langit malam, tetapi Alnair si bintang itu berpindah dari musim ke musim. Kadang muncul jam Sembilan malam. Kadang muncul saat matahari hampir muncul. Aku menyukai bintang-bintang.”
Anak-anak yang bukan temanku tapi akan menjadi temanku itu melongo mendengarkanku. Kurasa mereka tidak paham apa yang baru saja kukatakan.
“Kulanjutkan.” Kuputuskan untuk kembali berbicara. “Aku akan menjadi Kosmonot saat dewasa nanti. Mengendarai pesawat bercahaya menuju bintang-bintang, menyusul sahabat kecil ibuku yang tidak mau pulang.”
Aku ditertawakan, tapi aku tidak peduli.
****
“Alnair!”
Aku punya sepupu laki-laki yang wajahnya jelek dan otaknya seperti kucing. Dia sangat dungu. Aku sering memarahinya. Aku sering kesal kepadanya. Aku menyayanginya. Tapi aku sebal. Dia memanggilku keras-keras. Aku menoleh. Namanya Rigel. Dia sangat bodoh bahkan tidak tahu namanya diambil dari bintang biru terang yang ada di langit. Dia berhenti di depanku.
“Ibumu bilang jangan pulang sendiri.”
Kulepas tas punggungku. Kuberikan kepadanya. “Bawakan!” aku kembali berjalan sementara Rigel mengikutiku dari belakang sambil membawa dua tas.
“Kau percaya sahabat ibumu pergi menuju bintang-bintang?”
Aku berhenti. Berbalik menghadapnya. Memasang muka galak. Dia terlihat ketakutan. “Kalau kujelaskan, kepalamu tidak akan bisa memahaminya.” Padahal aku juga belum begitu memahaminya.
“A-aku tidak sebodoh itu.”
“Kau sebodoh itu!”
“Yang ingin kukatakan itu—”
“Apa?” aku menyergah.
“Jika ingin menyusulnya, jangan sendirian. Aku akan ikut denganmu!”
Wajahku mendadak gugup. Dia memang dungu dan menyebalkan. Dia berani. Aku menyayanginya. “Baik. Jangan ajak siapa-siapa tapi, oke? Hanya kita berdua!”
Rigel si Dungu mengangguk menyetujuinya. Aku ingin memeluknya tapi mendadak tidak mau karena dia pasti nanti jadi tidak takut lagi kepadaku, jadi aku berbalik. Aku tertegun. Orang-orang di lembaga penerbangan dan antariksa nasional itu sedang mengangkat roket pertama yang dibuat negara tempatku tinggal. Tinggi setinggi gunung. Aku sangat beruntung kampung tempatku tinggal dipilih sebagai tempat landasan roket mereka.
“Apa sahabat ibumu pergi ke langit menggunakan itu?” tanya Rigel.
Aku mengangguk. “Dua minggu lagi mereka melakukan peluncuran. Akan ada pesta diadakan karena ini pertama kalinya kita menerbangkan roket ke luar angkasa. Penyambutan Masa Depan. Perayaan dari Masa Depan, kata Ibuku. Aku akan datang. Kau?”
“Begini saja.” Suara keras Rigel mengejutkanku. “Saat Perayaan dari Masa Depan itu berlangsung, kita akan menaiki itu dan menyusul sahabat kecil ibumu. Bagaimana?” dia menunjuk ke arah roket yang sudah berdiri tegak.
Aku ingin memeluknya. Aku memeluknya. “Awas kalau kau bohong!”
Ya. Aku dan Rigel akan menyusul sahabat kecil ibuku dua minggu lagi di Perayaan dari Masa Depan.
****
Seminggu sebelum Perayaan dari Masa Depan, aku dan ibu melihat bintang-bintang di balkon rumah kami. Seperti biasa, ibu menjelaskan banyak hal tentang alam semesta, juga menceritakan tentang sahabat kecilnya.
“Dia selalu ingin mengajak ibu pergi menjelajah bintang-bintang. Seandainya dia masih di sini, dia pasti akan menjadi orang pertama yang membawa ibu ke Perayaan dari Masa Depan. Menggandeng tangan ibu kuat-kuat dan memilih tempat paling baik untuk melihat peluncuran roket.”
“Ayah pasti cemburu.” Wajah ibu langsung terlihat sedih.
“Kalau di di sini, dialah yang akan menjadi ayahmu, Alnair Sayang.” Suara ibu terdengar sangat lirih. Aku bingung. Bagaimana dia bisa menjadi ayahku jika tidak pergi menuju bintang-bintang.
****
Rigel dungu. Aku menyesal memeluknya dua minggu yang lalu. Dia tidak seberani yang kukira. Dia tidak berani menaiki roket bersamaku, justru memberitahukan ke semua orang yang ada di Perayaan dari Masa Depan bahwa aku menyusup. Semua orang heboh. Aku membencimu, Rigel. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Toh hitungan mundur sudah mencapai angka lima. Oh, ibuku pasti akan senang karena aku akan membawa pulang sahabat kecilnya.
Asap mengepul. Roket mendorongku dengan kecepatan tinggi ke atas. Dadaku berdebar. Seluruh tubuhku terasa kesemutan, tetapi aku berani. Aku akan menjelajah bintang-bintang mencari sahabat kecil ibu, lalu pulang.
Roket pendorong kehabisan bahan bakar. Mati. Terpisah dari kapsul yang kunaiki. Aku mengembara lepas menuju langit. Planet bumi biru cerah dan terlihat semakin mengecil. Aku akan segera pulang nanti, setelah misiku terlaksana. Ada sesuatu yang sangat terang di depanku. Sangat terang sampai mataku sakit. Oh, itu pasti pesawat sahabat kecil ibuku. Tunggu aku. Aku akan menyusulmu. Ternyata kau tidak terlalu jauh, Tuan Kosmonot.
****
Aku mengejar cahaya itu, tapi tidak terkejar. Lama sekali seperti bertahun-tahun, tidak juga terkejar. Justru aku malah kembali, meski aku tidak merasa ingin kembali. Aku melihat rumahku dari atas. Malam hari. Di balkon ada ibuku dan ayahku. Eh, bukan ayahku. Laki-laki tinggi yang tidak kukenal. Dia dan ibuku berciuman. Menjijikkan. Saling melepaskan baju. Aku tidak mau melihatnya, tetapi aku tidak bisa menutup mata. Mereka berpelukan. Laki-laki itu menggendong ibu dari depan. Cukup. Aku tidak mau melihat lagi.
Mendadak menjadi siang. Bukan rumahku yang kulihat. Tapi aku melihat ibu. Ada banyak kerumunan. Oh, pernikahan. Ibu dengan dress merah berlari menembus kerumunan, menuju pasangan yang akan menikah. Oh, itu laki-laki yang menggendong ibu tanpa pakaian tadi. Ibu menarik tangannya. Menyeretnya pergi menjauhi banyak orang yang tertegun.
Ibu sangat jahat. Tapi aku menyayanginya.
Mendadak menjadi sore. Ibu dan laki-laki itu tertangkap. Dipisahkan. Si laki-laki berteriak-teriak marah tetapi tidak bisa apa-apa. Lalu dia pergi jauh sekali sementara ibuku menikah. Oh itu ayahku yang menikah dengan ibu. Sementara, si laki-laki yang tadi pergi, masih terus pergi sampai akhirnya dia menaiki roket. Terbang menuju langit yang semakin malam. Pergi menuju bintang-bintang. Oh dia itu sahabat kecil ibu yang kucari.
Ibu tinggal bersama dengan ayah. Ibu hamil. Ibu melahirkan. Oh itu aku. Mendadak mataku terasa berat. Aku memejamkan mata. Aku menangis. Aku membuka mata.
Ibu memelukku.
“Alnair.”