Ia pernah tinggal di sebuah ruangan tiga kali empat selama beberapa dekade. Ada kasur yang tak pernah rapi di ruangan itu, kipas angin yang penuh debu dan tidak memberi kesejukan, radio lama yang mengabarkan berita dari negeri jauh, jam dinding yang jarum jamnya berdetik terbalik, pun ada televisi yang hanya memiliki satu siaran tentang berita kriminal di ibukota.
Ia tinggal di sana sementara di luar ruangan itu hanya ada warna abu-abu tak berujung.
Ia tak memiliki banyak teman, namun semua temannya itu pernah datang ke sana dan bercinta hebat dengannya. Menikmati ganja sampai tertawa-tawa keras, tapi tak apa, toh ia tak memiliki tetangga.
“Bagaimana kalau kita menanam ganja saja?” usul seseorang telanjang di kasurnya yang berantakan.
“Jangan. Nanti repot kalau tertangkap,” jawab ia.
“Apanya? Tak ada lagi manusia di luar sana.”
“Radio sialan itu masih mengabarkan berita-berita dari negeri lain. Pasti masih ada manusia di sana.”
“Radiomu rusak. Nanti kubuang saja. Mana mungkin ada manusia lagi. Perempuan sudah mendistorsi segalanya. Kita beruntung selamat.”
“Jangan dibuang. Aku masih menikmatinya.”
“Omong-omong di mana Perempuan itu, ya? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Aku juga. Akan kutiduri ia dan kubuat ia orgasme berkali-kali.”
“Lalu kita jejali ganja sampai pingsan,”
“Kabarnya, ia bertemu seorang Alkemis dan Pelukis Tunggal untuk bersembunyi.”
“Apa itu Alkemis?”
“Orang yang bisa mengubah logam apa pun menjadi emas, kurasa.”
“Mana ada orang seperti itu.”
“Entahlah. Tapi kabarnya memang begitu. Perempuan merasa berdosa lantas minta pikirannya diubah menjadi lukisan-lukisan. Alkemis membantu proses itu.”
“Radiomu benar-benar rusak.”
“Di mana Alkemis dan Pelukis tunggal itu, ya?”
“Siapa juga yang peduli,” balas orang telanjang sambil mengisap sisa lintingan ganjanya. “Aku penasaran, siapa orang pertama yang kautiduri di kamar sialan ini.”
“Aku lupa,” balas ia. “Tetapi kalau yang paling berkesan aku ingat.”
“Ceritakan siapa pun itu. Hampir mati bosan kudengar omongkosong soal Alkemis itu.”
“Namanya Terentia, atau kusebut ia begitu. Sudah seribu dekade kurasa, yang jelas belum ada Perempuan Pendistorsi itu. Musim penghujan yang sialan karena banjir melanda di seluruh negeri, tetapi aku tak terlalu pusing. Ia, Terentia, datang menemuiku.
Ia datang kepadaku sore itu, meminta bantuan terkait proyek tugas akhirnya mengenai sejarah Romawi kuno.
Ia Perempuan berambut panjang yang basah terkena tempias hujan.
Aku tak pernah menyukai Perempuan berambut panjang sebelumnya, namun perempuan dengan tubuh kuyup satu itu mampu menarik perhatianku, mungkin karena ia tak pernah—atau jika pernah pasti sangat jarang—mencuci rambutnya. Sialan, tak ada korelasinya sama sekali.
Kupanggil ia Terentia, seperti nama istri Marcus Tulius Cicero di masa sebelum Julius Caesar berkuasa. Perempuan bermata cokelat kelabu, sendu, pun menyimpan badai. Ia yang lantas kuajak ke kamarku dengan dalih memandunya. Ia yang mendadak lekat ke tubuhku. Ia yang lantas kuciumi bibirnya tanpa perlawanan, justru membalas lebih liar.
“Jangan tiduri aku sekalipun kemaluanku sebasah penghujan bulan Desember.” Analogi yang lucu menurutku terkait ucapannya.
“Kenapa?” tanyaku, meraba selangkangannya yang benar-benar sudah basah.
“Aku malas mencuci rambutku.” Itu adalah kali pertama aku tahu ia malas mencuci rambutnya. Sekalipun begitu aku menikmati aroma alami rambut Perempuan Terentia itu.
“Kenapa?” tanyaku sekali lagi.
“Aku rajin beribadah.” Ia berujar. “Aku harus suci sebelum beribadah.” Balasnya sekali lagi, namun sekalipun berdalih suci, ia tetap melenguh keras ketika kumainkan lubang miliknya dengan jemariku.
*_*_*_*
Julius Caesar pernah meniduri istri Cicero ketika Caesar dan Cicero bersekutu demi memenangkan Pompeius Agung mendapatkan armada penuh Romawi, sedangkan masa itu Caesar hanyalah lelaki di awal umur 30 tahun, pertama kali mengikuti pemilu, dan memiliki dendam teramat sangat kepada para Aristokrat, belum menjadi Diktator seperti yang kita kenal sekarang. Pun sebenarnya, Istri Pompeius Agung pernah ditidurinya.
Kuceritakan itu kepada Perempuan yang kupanggil Terentia sambil melumat dadanya yang lumayan besar.
“Jangan tiduri aku!” ia mendesah. Lelaki mana pun tahu sebenarnya ia sangat ingin dicinta dengan luar biasa hebat, namun sekali lagi dengan dalih suci, ia mencoba menahan hasratnya.
“Aku Julius Caesar, dan engkaulah Terentia.” Aku berujar. “Siapa Marcus Tulius Cicero-mu?”
“Lelaki yang mengagumimu, kurasa. Yang tidak bakal menduga bahwa kau akan menelanjangiku,” balasnya.
“Oh, aku tahu lelakimu,” jawabku. “Cicero yang malang.” Kulumat bibirnya.
“Jangan tiduri aku!” ia masih saja ingin menjadi suci. Sejujurnya kurasa ia memang hanya sangat malas mencuci rambutnya.
*_*_*_*
Aku pernah meminta Terentia memotong pendek rambutnya, namun ia menolak. Kupaksa, ia semakin menolak. Kubujuk dengan halus, gagal. Sialan! Kubilang, aku akan berhenti menjamahnya jika ia bersedia memotong pendek rambutnya, namun ia justru merengek-rengek dan hampir menangis, memintaku jangan berhenti menjamahnya.
“Sebegitukah kau tidak mau memotong rambutmu?”Aku tahu sejujurnya ia hanya malas mencuci rambutnya, meski kurasa tidak ada hubungannya sama sekali.
“Cicero-ku ingin aku berambut panjang,” balasnya.
“Cicero-mu tidak bisa membuatmu basah.”
“Benar.” Ia menjawab.
“Aku bisa,” jawabku.
“Benar,” balasnya sekali lagi. “Ia menjagaku menjadi tetap suci.”
“Benar,” kugunakan kata andalannya. “Atau ia hanya terlalu dungu, atau lebih tepatnya tidak bernafsu sama sekali kepadamu.”
*_*_*_*
Terentia meronta-ronta ketika kemaluannya kumasukki. Ia berkali-kali berkata, “Aku suci!”, namun sejujurnya ia hanya malas mencuci rambutnya. Kucinta ia dengan begitu hebat sampai tubuhnya bergetar dan mencapai orgasme berulang-kali, tetapi tetap ia berteriak “Aku suci!”. Tubuhnya mengejang hebat sementara liur mengalir dari mulutnya, semakin menekankan bahwa ia meminta lebih perihal bercinta. Mulutnya saja yang berkata suci. Ia hanya malas mencuci rambutnya.
“Aku Julius Caesar. Kau Terentia. Tak satupun dari kita adalah orang suci.”
“Aku harus beribadah esok hari,” desahnya.
*_*_*_*
Terentia memotong pendek rambutnya di sebuah salon dekat rumahku sekaligus mencucikan rambutnya seusai bercinta hebat denganku. Ia yang tak suci, setelah mencuci rambutnya, menjadi suci kembali. Aneh memang perihal suci dan tak suci bagi perempuan yang malas mencuci rambutnya itu.
Malam demi malam ia kembali, meminta kujamah, lantas meminta ditiduri.
Tak sampai satu minggu, Perempuan itu nyaris kehilangan semua rambutnya karena ia potong setiap hari demi mensucikan tubuhnya.
Sesungguhnya, ia hanya malas mencuci rambutnya.”
*****
“Tak heran kau mengingatnya. Ia pasti sangat menyebalkan.”
“Setidaknya ia tidak gampangan seperti kau.”
“Kalau aku tidak gampangan, siapa lagi yang mau tidur denganmu?”
“Semua orang yang datang ke sini pasti kutiduri.”
“Kau memang bajingan.”
“Ya. Kau juga.”
“Alkemis sialan itu juga bajingan. Pelukis itu juga bajingan. Perempuan Pendistorsi itu juga bajingan.”
“Terserah kau saja.” ia menyalakan televisi yang menyiarkan berita kriminal. Di berita, seorang perempuan mati kehabisan darah setelah terkena pecahan gelas yang ia jatuhkan sendiri.