Suasana senja di Kampung Halaman terasa sangat sepi. Hampir tidak ada suara yang terdengar, kecuali angin yang bertiup kencang. Kebun kelapa yang biasanya ramai dengan suara burung-burung kini terlihat sepi. Begitu juga dengan sawah yang biasanya dipenuhi oleh petani yang sibuk menanam padi.
Aku, Lara, sedang duduk di Beranda rumah kecilku yang terletak di pinggir desa. Aku merasa tidak nyaman, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, aku mendengar suara ketukan di pintu depan. Aku merasa sangat takut, namun aku harus mengecek siapa yang datang.
Dengan hati-hati, aku mendekati pintu dan membuka gerbang. Di depan pintu, aku melihat sosok yang sangat menyeramkan. Dia adalah Tuan Muda, seorang lelaki tua yang terkenal sangat licik di desa ini. Tuan Muda memiliki mata merah yang menyala dan rambut yang terurai.
"Apa yang kau lakukan di sini, Tuan Muda?" tanyaku dengan suara gemetar.
Tuan Muda tersenyum sinis. "Aku datang untuk membawa kabar buruk, Lara. Kampung Halaman ini sedang dilanda kematian. Beberapa orang telah meninggal dalam waktu yang sangat singkat, dan aku yakin kau juga akan menjadi salah satu korban," ujarnya dengan suara serak.
Aku merasa sangat takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Namun, Tuan Muda kemudian terdiam sejenak sebelum berkata lagi.
"Tapi, ada cara untuk menyelamatkan dirimu, Lara. Jika kau mau mengikuti aku, aku akan memberimu obat yang akan menyembuhkanmu dari penyakit ini," ujarnya dengan mata yang terus menyala.
Aku merasa sangat terpaksa, namun aku tidak punya pilihan lain. Aku mengikuti Tuan Muda ke kebun kelapa yang terletak di belakang rumahku. Di sana, aku menemukan sebuah rumah kecil yang terlihat sangat tua dan rapuh.
Tuan Muda membuka pintu rumah itu dan memintaku masuk. Aku merasa sangat takut, namun aku tidak bisa menolak. Saat aku masuk ke dalam rumah itu, aku merasa seolah semua suara di dunia ini terhenti. Suasana di dalam rumah itu sangat sepi, hanya terdengar suara Tuan Muda yang terus mengajakku untuk masuk ke dalam.
Aku melangkah perlahan, merasa sangat takut. Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang hangat di kakiku. Saat aku menoleh, aku melihat darah yang mengalir di lantai rumah itu. Aku merasa pusing dan mual, namun aku terus berjalan ke arah Tuan Muda yang terlihat sangat menyeramkan di depanku.
Tuan Muda kemudian mengeluarkan sebotol obat dari sakunya. "Ini obatmu, Lara. Minumlah seluruhnya, dan kau akan terbebas dari penyakit ini," ujarnya sambil tersenyum sinis.
Aku merasa sangat terpaksa, namun aku tidak punya pilihan lain. Aku meneguk obat itu, merasa sangat takut. Namun, saat aku meneguk obat itu, aku merasakan sesuatu yang tidak beres. Rasa sakit yang teramat sangat menyergapku, seolah aku sedang dibakar hidup-hidup.
Tuan Muda terus tertawa sinis sambil menontonku yang merasa sakit. "Kau tidak tahu, kan, Lara? Obatku ini bukan obat sakit, tapi obat kematian. Selamat tinggal, Lara. Kau akan segera bergabung dengan korban-korban lain di Kampung Halaman ini," ujarnya dengan suara serak.
Aku merasa sangat takut dan putus asa. Saat aku merasa akan segera meninggal, Tuan Muda kembali tertawa sinis. "Ternyata, aku hanya bercanda, Lara. Obatku ini memang membuatmu merasa sakit, tapi itu hanya efek sampingnya. Sekarang, kau sudah terbebas dari penyakit ini," ujarnya dengan tawa yang tidak jelas.
Aku merasa sangat lega dan terharu. Aku tidak tahu harus berterima kasih atau tidak pada Tuan Muda yang ternyata hanya bercanda. Tuan Muda beranjak ke arah pintu. Sebelum keluar, dia sempat menoleh ke arahku. “Hanya kau yang selamat di desa ini, Lara,” ujarnya dengan suara pelan. “Keluarlah. Kau akan paham maksudku.” Ia membuka pintu dan menghilang dari hadapanku.
Perlahan kuikuti dia. Namun begitu keluar dari rumah, aku hanya melihat kekosongan. Hanya ada ruangan putih berpendar yang membentang di segala arah. Rumah kecil yang tadi aku kunjungi pun telah lenyap. Tak ada siapa pun di sekitar sini. Bahkan keberadaan Tuan Muda juga entah di mana. Saat aku melangkah, aku tidak merasakan kakiku. Malahan aku tak merasakan tanganku sama sekali. Ketika kulihat tubuhku, aku terkejut. Tak ada satu pun bagian tubuhku yang masih ada. Aku hanyalah kesadaran, yang terombang-ambing di seluruh tempat putih berpendar ini.
Berbagai pertanyaan menghantuiku. Di mana Tuan Muda? Di mana seluruh penduduk desa? Di mana tubuhku?