PESAN MENCURIGAKAN DI PONSEL SUAMI 12
Klakson mobil terdengar dari arah halaman depan. Baru berapa menit lalu aku mengirim pesan. Ternyata Ayu sudah ada di depan rumah ini.
Gegas kakiku melangkah menemui Ayu. Aku tak jadi menunggu lama, karena sahabatku sudah datang menjemputku.
“Baru tadi aku WA, tahu-tahu udah nongol di sini. Bagus sih. Kita bisa langsung ke rumah Dinda yang nggak tahu diri itu.”
Aku membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Ayu.
“Aku kan orangnya tepat waktu, nggak kayak kamu.”
“Masa?” Mataku melotot.
Ayu hanya meringis. Pada kenyataannya, perempuan ini adalah orang yang paling suka terlambat. Ini saja sudah kuperingati beberapa kali. Jadilah datangnya tepat waktu.
“Buruan kita ke rumah Dinda. Aku nggak sabar pengin melabraknya dan menyingkirkan wanita itu jauh-jauh dari Mas Iwan.”
“Iya, ini mau berangkat. Kamu jangan brutal. Kita harus ngomong baik-baik dulu. Nggak tahu alasan pastinya kan?”
“Alasannya tentu butuh duit dong, Yu. Apa sih di dunia ini yang nggak bikin pusing selain nggak punya duit? Pastinya wanita jal*ng itu memanfaatkan Mas Iwan. Morotin!”
Belum juga bertemu dengan Dinda, amarahku sudah membara.
“Iya, aku tahu. Bisa jadi ada alasan lain kan? Jangan-jangan Iwan yang genit.” Ayu cekikikan.
“Genit dari mana? Kemarin kamu lihat sendiri kan? Mas Iwan nggak menyentuh atau berbuat aneh-aneh sama Dinda. Pasti si Dinda yang menggoda duluan. Kamu jangan ngompori terus kenapa sih?”
Ayu malah tertawa semakin lebar. Paling suka mengusili sahabatnya sendiri. Padahal ini bukan sesuatu yang pantas untuk dijadikan bahan bercandaan. Ini hal yang sangat serius bagiku. Meski sikapnya yang menyebalkan, Ayu tetaplah sahabatku. Aku sudah terbiasa.
Mobil menepi di halaman rumah milik Dinda. Kebetulan, perempuan itu berdiri di depan pintu rumahnya. Entah baru dari mana. Ia berpakaian rapi.
“Ini memang sudah takdir. Dinda malah sudah ada di depan rumah. Seperti menyambut kehancurannya sendiri. Kita nggak perlu repot mengetuk rumahnya. Dia orang yang nggak pantas dihormati. Nggak punya malu gitu kok dihormati!” Lidahku susah untuk tidak berkata sadis.
“Ingat loh, Rum. Kamu jangan tiba-tiba main tangan. Kita tetap tamu di tempat ini. Kalau Dinda berteriak, kita bisa dih*jar sama warga sini loh.” Ayu memperingatkan lagi.
“Dih! Kan dia yang salah! Goda-goda suami orang! Kita punya bukti, kenapa malah takut?”
Aku turun dari mobil. Memang amarahku membuncah. Namun, seperti kata Ayu, aku harus bisa menahan diri. Ini tempatnya si Dinda tak punya malu itu. Warga sini mungkin akan membelanya.
Entah kalau aku menunjukkan bukti perselingkuhan, bisa saja Dinda yang diusir dari sini. Bagus sih sepertinya. Kepercayaan diriku semakin bertambah.
Senyuman di bibirku terlukis meski terpaksa. Namun, Dinda yang melihatku seperti kaget dan ingin menghindar.
“Kamu Dinda kan? Boleh kan kita bicara sebentar?”
Langkahku semakin lebar. Aku tidak ingin Dinda masuk dan menutup pintunya tanpa rasa sopan. Dari gelagatnya, perempuan itu sepertinya tak ingin bertemu denganku.
Apa dia tahu aku adalah istrinya Mas Iwan? Tapi, dari siapa dia tahu? Aku pikir, ini baru pertama kali kami bertemu.
“Maaf, Mbak Arum, sepertinya lebih baik Mbak pulang saja. Maaf aku nggak bisa banyak mengobrol sama Mbak,” jawab Dinda. Jemarinya masih sibuk mengutak-atik kunci pintu.
“Ha? Kamu tahu namaku? Hey, jangan masuk.” Aku menarik tangannya.
“Maaf, Mbak. Lebih baik Mbak pulang saja. Aku nggak mau berurusan sama keluarganya Mas Iwan lagi.” Dinda berusaha melepas cengkeramanku.
Aku terkesiap. Wanita ini menolak berurusan denganku yang memang istri dan keluarganya Mas Iwan, akan tetapi malah berurusan langsung sama Mas Iwan? Jelas ada yang tidak beres.
Akhirnya, aku membawa Dinda secara paksa memasuki rumahnya. Kebetulan, pintunya sudah terbuka lebar. Jadi, aku gampang menyeretnya masuk ke rumahnya sendiri.
Ayu yang berada di belakangku, menutup pintu rapat-rapat. Kalau sudah berada di dalam, tentu lebih aman saat akan menginterogasinya.
“Kamu nggak mau berurusan sama keluarganya, tapi mau kalau bertemu langsung sama Mas Iwan? Aku istrinya loh! Kamu tahu namaku, tentu tahu statusku juga kan?”
Dengan kasar, aku melempar Dinda ke lantai. Biar saja ia bersimpuh di hadapanku. Wanita jal*ng selayaknya mendapatkan perlakuan semacam itu.
“Bukan begitu, Mbak! Tapi, Mas Iwan sendiri yang memaksa. Aku nggak ingin lagi berurusan sama kalian.”
Dinda berdiri seraya memegang pergelangan tangannya yang mungkin terasa sakit. Aku memang mencengkeramnya dengan sangat erat.
“Nggak mau berurusan kenapa malah minta duit? Kamu ini lucu ya? Nggak usah berbelit-belit deh. Kalian sebenarnya ada hubungan apa? Kamu pel*kor, ha?”
Meski sejak awal Ayu sudah memperingatiku untuk berbicara baik-baik dan tidak memakai cara kasar, pada kenyataannya semua itu susah dihindari. Emosiku meluap kala bertemu langsung seperti ini. Ditambah Dinda yang memulainya duluan. Bukan salahku sepenuhnya.
“Jangan menuduhku sembarangan, Mbak! Aku perempuan baik-baik. Buat apa jadi pel*kor!”
Dinda yang terlihat lembut dari tampangnya, ternyata nyalinya besar juga. Aku merasa ditantang olehnya. Apalagi ia tak mau mengakui perbuatannya.
“Lalu, kenapa minta uang tanpa rasa malu ke suami orang? Kamu sudah menggoda suamiku kan?”
“Nggak! Buat apa menggoda suamimu? Harga diriku masih tinggi. Itu karena aku terpaksa, anakku sakit harus berobat.”
“Alasan! Setiap awal bulan kalian bertemu kan? Mau mengelak lagi? Itu namanya selingkuh! Kamu pel*kor! Wanita dewasa sering bertemu dengan laki-laki dewasa yang sudah beristri tanpa sepengetahuan istrinya itu artinya selingkuh. Pel*kor nggak tahu diri!”
Aku ingin menamparnya, tetapi tangan Dinda berhasil menahannya. Aku semakin geram.
Ayu sejak tadi hanya diam memperhatikan kami yang sedang beradu mulut.
“Kamu itu pel*kor. Nggak tahu malu banget sih!” Ayu tiba-tiba menendang kaki Dinda.
Tentu saja, perempuan itu kesakitan dan melepas tanganku yang ingin menamparnya.
“Kalian ini mau ngapain sih ke sini? Pergi saja sana! Jangan ganggu kehidupanku. Aku sudah muak dengan kalian!”
“Wah, wah! Pel*kor ini memang sudah nggak punya malu ya? Kalau mau lepas dari kami, tentu saja kamu harus menyingkir dari kehidupannya Mas Iwan. Jangan pernah lagi meminta apa pun padanya. Nggak usah juga mengadu sama Mas Iwan kalau kami datang ke sini. Kalau nggak, anakmu akan menjadi korban. Gimana? Mau nyerah atau tetap menantangku? Pergi jauh dari sini! Jangan pernah bertemu Mas Iwan lagi!”
“Iya! Aku memang nggak mau lagi berurusan sama suamimu! Hanya saja, dia yang selalu memaksa! Dia itu laki-laki br*ngs*k yang nggak punya hati nurani! Pergi sana! Jangan datang ke sini lagi!”
“Maksudmu apa ha? Mas Iwan itu orang yang sangat baik. Br*ngs*k katamu? Kamu yang jal*ng! Dasar pel*kor nggak punya harga diri!”
“Pergi sana! Jangan ganggu kehidupan kami! Ya, aku nggak akan lagi mau bertemu sama suamimu. Camkan itu! Jangan pernah datang ke sini lagi!”
Aku bertambah heran. Tadi saja, saat pertama kali bertemu, perempuan ini seakan ketakutan. Sekarang malah bersikap seberani ini. Bahkan mengatakan kalau Mas Iwan laki-laki br*ngs*k, apa maksudnya?
Bukankah selama ini dirinya yang selalu merepotkan Mas Iwan? Suamiku yang mau baik hati menyisihkan uangnya demi memenuhi kebutuhan mereka? Kenapa sikapnya seperti ini?
“Hey! Aku di sini yang dirugikan! Kenapa seolah kamu yang tersakiti? Suamiku sudah mau membantumu kan selama ini? Kamu malah menjelek-jelekkannya? Apa hubungan kalian sebenarnya? Kamu pel*kor kan?”
Plak!
Tamparan keras justru mendarat di pipiku. Tentu aku sangat terkejut. Kenapa aku yang mendapatkan tamparan dari seorang pel*kor? Tidak bisa dibiarkan!
“Kamu ini ya? Sudah dibaiki malah menamparku seperti ini? Pel*kor ya tetap pel*kor! Nggak usah mengelak!”
Aku berusaha menarik hijabnya. Lagi-lagi, tanganku ditahan. Ayu pun berusaha membantuku. Namun, kali ini Dinda menendang kaki Ayu dengan sangat keras. Ayu kesakitan.
“Awas saja kalau kalian ke sini lagi! Aku nggak segan-segan melaporkan kalian ke petugas keamanan yang ada di sini. Aku nggak akan lagi minta bantuan sama suamimu itu. Meski Ara, anakku sudah menganggapnya seperti ayahnya sendiri, tapi aku nggak mau lagi berurusan sama kalian. Pergi dari sini! Aku katakan sekali lagi, aku bukan pel*kor!”
Aku dan Ayu terpaksa keluar dari rumahnya. Pikiranku tentu banyak tanda tanya besar.
Kenapa malah jadi seperti ini? Aku kan yang dirugikan, kenapa sikapnya lebih brutal dari diriku?
“Hey! Wanita jal*ng! Aku belum selesai! Maksudnya apa ha? Kamu ini pel*kor! Jangan sok suci begitu!”
Aku menggedor pintunya. Bahkan menendang saking jengkelnya.
“Tanyakan semua alasannya sama suamimu sendiri! Jangan pernah ke sini lagi! Ingat ya! Aku nggak akan lagi bertemu sama suamimu! Jangan usik hidup kami! Apalagi anakku! Camkan itu!” hardik Dinda dari dalam rumah.
Aku semakin kesal. Kenapa keadaannya menjadi seperti ini?
“Aku punya bukti kalau kamu morotin suamiku! Dasar pel*kor!”
“Tanyakan sama suamimu! Jangan salahkan aku! Pergi sana!”
Ayu akhirnya membawaku menjauhi rumah ini. Bukan rasa puas yang kudapat, malah kepalaku semakin dipenuhi tanda tanya besar.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Mas Iwan? Kalau Dinda bukan pelakor, kenapa Mas Iwan begitu melindunginya? Sekarang, apa yang harus aku lakukan?