Menikahi Wanita Bercadar

0
Farhan menolak untuk berangkat mondok. Dia masih mau menikmati masa remaja yang penuh kebebasan. Berkumpul dengan teman sebaya tanpa ada yang mengatur hidupnya.

Farhan benar-benar bertekat bulat untuk sekolah SMA saja. Tanpa harus pergi mondok jauh dari orang tua. Padahal kedua orang tuanya ingin sekali Farhan menimba ilmu agama.


Sampai suatu malam, Farhan dikejutkan dengan mimpinya saat bertemu dengan seorang kakek tua bersorban putih. Kakek tua itu memberinya sinyal agar berangkat mondok sebelum semuanya terlambat. Kakek tua itu berpesan kepadanya supaya menuruti perkataan orang tuanya untuk mondok di sebuah Pesantren.

Farhan abaikan semua mimpinya. Menurut dia itu hanyalah mimpi biasa. Tidak perlu dipikirkan dan tidak juga dihiraukan.

Farhan hanya merasakan gelisah yang begitu dalam. Saat mengingat mimpi yang menghantuinya itu. Padahal itu hanyalah bunga tidur belaka.


Namun Farhan tetap saja memikirkannya. Dia tak dapat menyingkirkan perasaan resah yang menyerangnya. Dia tidak tahan dengan perasaan aneh yang menderanya.

Karena tidak mau berlarut-larut dalam ketidak tenangan, akhirnya dia memutuskan untuk pergi mondok ke sebuah Pesantren. Orang tuanya sangat senang dengan keputusan anak kesayangannya itu. Akhirnya mereka semua berangkat untuk menitipkan Farhan di Pondok Pesantren untuk belajar ilmu agama.

Pak Kyai yang sudah mengetahui tentang Farhan dari kedua orang tuanya memandang Farhan dengan tajam. Sehingga Farhan merasa risih dan tidak enak hati dengan pandangan Kyai yang diarahkan kepadanya. Dia kemudian menundukkan kepalanya.


Pak Kyai hanya bisa tersenyum melihat Farhan yang masih lugu. Beliau paham dengan sikap Farhan yang masih labil dan merasa asing di tengah kehidupan Pondok Pesantren.

Di awal hari-harinya di Pondok Pesantren tidak kerasan. Dia merasa tertekan seakan berada di dalam sel tahanan. Geraknya tidak bebas cenderung diawasi setiap hari.

Bahkan dia belum bisa baca Al-Qur'an dan menjalankan shalat lima waktu. Karena di sekolahnya yang dulu minim pelajaran agama. Dan Farhan tidak suka dengan pelajaran tersebut.



Alhasil, dia hanya jadi tukang sapu di sekitar masjid. Membantu menjual makanan ringan milik koperasi Pesantren. Membantu pembangunan pondok Pesantren.

Hingga pada suatu pagi, Kyai memintanya untuk membaca kitab Safinatunnajah. Bibirnya kelu tidak mampu membaca sepatah duapatah saja. Karena dia memang tidak punya dasar sama sekali.

Karena tidak ingin membuatnya malu pada santri yang lain, Kyai segera menyuruh santri lain yang bisa baca kitab kuning. 

Farhan hanya tertunduk malu dan lesu. Dia menyalahkan dirinya sendiri tanpa berpikir positif tentang hal lain. Mengapa dia tidak bisa baca tulisan arab dari dulu. Sehingga tidak perlu malu pada teman santri yang lain.

Dengan tekat kuat, dia mulai belajar baca tulisan arab. Semua kitab yang berhubungan dengan ilmu nahwu dan sharraf dia pelajari. Dia yakin tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau mau berusaha dan belajar dengan giat.

Akhirnya Farhan bisa melewati batas dirinya. Dia mampu membaca kitab kuning dengan cepat. Bahkan dia sudah fasih dalam melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Semangat shalat lima waktunya dengan ikut berjamaah secara istiqamah.

Kemudian, Farhan ditugaskan oleh Kyai untuk mengajar di sebuah Pesantren besar. Awalnya dia menolak, namun Kyai memaksa untuk menugaskannya ke salah satu Pesantren besar yang masih punya ikatan saudara dengan Sang Kyai.

Farhan sangat bahagia dan puas dengan hasil belajar yang dia lalui. Dia terus bersyukur kepada Allah Swt. Atas ilmu yang dititipkan kepadanya.

Di tempat tugas, Kyai di sana sangat senang dan takjub dengan ilmu yang dimiliki oleh Farhan. Lalu Beliau ingin menjodohkan Farhan dengan putrinya.

Neng Fara, itulah nama putri Kyai di tempat tugas Farhan. Mendengar ingin dijodohkan dengan Farhan, Neng Fara tidak berkenan dan tidak mau untuk dijodohkan. Karena Farhan punya banyak kekurangan. Sehingga Neng Fara lebih memilih menolak permintaan Abinya.

Walaupun demikian, Neng Fara tetap menghormati Abinya. Dia tidak langsung menolak Farhan. Namun mengenalkan calon lain yang dia suka.

Setelah mengetahui calon yang dikenalkan bukanlah Farhan. Abinya Neng Fara hanya bisa menuruti permintaan sang putri. Akhirnya Farhan gagal diambil menantu oleh sang Kyai.

Sebelum pernikahan digelar, calon dari Neng Fara kabur entah kemana. Laki-laki itu kabur dari tanggung jawab. Padahal dia juga putra dari seorang yang terpandang.

Akhirnya, Farhan diminta oleh sang Kyai untuk menggantikan posisi laki-laki itu sebagai mempelai pria. Semua keperluan untuk pernikahan ditanggung oleh sang Kyai.


Farhan segera memberitahukan segalanya kepada Kyai tempat asalnya mondok, setelah sebelumnya memberitahukan apa yang dialami kepada kedua orang tuanya.

Neng Fara, wanita bercadar itu sebentar lagi resmi menjadi istri sah Farhan.

Tamat.

Post a Comment

0 Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

To Top