Sang Pelacur, Ahli Agama, dan Teroris

0



Kau dan aku pernah berdiri di tepi Lautan Kosmik.

Kau bertanya-tanya tentang siapa kita sebenarnya dan apakah kenyataan itu nyata. Kujawab, kita adalah bagian dari Lautan Kosmik itu sendiri. Kau sedang mewujud menjadi manusia dan terbatas pada semua kehendakmu. Kita abadi, hanya saja selalu berpindah wujud. Kita mungkin berupa kesadaran-kesadaran selama lebih dari satu kuadriliun tahun. Pun, keberadaan pada realitas lain mungkin hanya berupa pikiran-pikiran tanpa bentuk.

Ia terbangun dengan perasaan kosong menyebalkan dan separuh dirinya seolah bukan miliknya sendiri. Ia mengerjap beberapa kali dan teringat ini bukan kamarnya, tetapi kamar Perempuan yang tidur semalaman dengannya.

Ia mencoba duduk, mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Beberapa ia ingat dengan jelas, tentang perbincangan santai dengan Perempuan, pun benar-benar ingat saat Perempuan membuka baju dan menunjukkan tato berwujud pikiran-pikiran manusia di bagian intimnya.

Ia tidak meniduri Perempuan. Tidak bercinta dengannya. Pun menyentuhnya ia tidak. Ia lebih memilih beradu pikiran dengan Perempuan itu dan memang sangat menyenangkan. Lantas, mereka berdua mulai membuka botol minuman beralkohol dan minum sampai mabuk. Dari sisa-sisa aroma di ruangan itu, sepertinya mereka sempat mengisap ganja juga dan ada kilatan singkat khayalan yang terjadi selama mereka terbang. Mereka terjebak di dalam majalah dan cara untuk keluar adalah dengan membunuh semua orang, atau menemukan pelacur, ahli agama, dan teroris.

Perempuan adalah pelacur. Ia adalah ahli agama. Lelaki di kamar sebelah adalah teroris dan ia harus membunuh teroris agar ia tak harus membunuh semua orang. Ia dan Perempuan membunuhnya, dan mereka bebas dari majalah.

Ia terkekeh-kekeh pelan mengingat kegilaan itu. Mana mungkin ia membunuh pemuda di kamar sebelahnya.

“Kau memikirkan sesuatu?” tanya suara serak Perempuan di sebelahnya.

“Ya,” balasnya parau. “Apa saja yang terjadi tadi malam.”

“Kita bercinta dengan hebat,” kata Perempuan.

Ia menoleh terkejut. “Aku tidak menyentuhmu sama sekali.”

“Kita bercinta di pikiran-pikiran yang kau bagikan.” Ada semburat senyum di wajah perempuan dengan dahi lebar itu.

“Oh,” balasnya paham. Kembali ia merebahkan tubuhnya dan menghirup napas dalam-dalam. “Kurasa aku sudah membunuh pemuda di kamar sebelah.”

“Ya,” balas Perempuan. “Mayatnya baru saja dibawa orang-orang.”

“Jangan bercanda.”

“Kau yang pertama bercanda.”

“Katamu, pemuda itu rajin beribadah. Mana mungkin ada orang yang membunuhnya.”

“Sekalipun mati, pasti masuk surga, kan?”

“Kukira kita ateis.”

Perempuan terkekeh-kekeh. “Ada banyak area abu-abu dari kata ateis itu.”

“Misalnya?”

“Ada...” Perempuan menjeda kalimatnya mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Kira-kira empat kategori, kurasa.”

“Sebutkan saja.”

“Ada golongan yang ‘Aku tidak Percaya Tuhan ada, tapi bisa saja aku salah.’. Ada pula yang ‘Aku Tidak percaya Tuhan ada, dan aku yakin aku tidak salah.’. pun ada yang lebih santai dengan bilang ‘Aku percaya Tuhan ada, tapi bisa saja aku salah.’. dan yang paling akhir  ‘Aku Percaya Tuhan ada, dan aku tidak salah.’.”

“Yang terakhir itu kurasa tidak masuk golongan ateis.”

“Masuk saja. Ia percaya dan yakin, tapi tidak peduli. Tidak ada konsep surga neraka di sana.”

“Bagaimana denganku?” tanya ia.

“Bagaimana denganmu?” tanya Perempuan kebingungan.

“Aku percaya ada entitas dengan skala kosmik yang jauh lebih besar dari entitas kita dan memiliki kekuasaan maupun kekuatan luar biasa yang belum kita sadari, tapi entah itu Tuhan atau bukan.”

“Masuk yang ‘Aku percaya Tuhan ada, tapi bisa saja aku salah.’, kurasa,” balas Perempuan.

“Mana mungkin?” balas ia. “Aku yakin ada entitas, atau entitas-entitas itu ada, hanya saja entah itu Tuhan atau bukan.” Ia menjelaskan. “Maksudku, aku percaya akan adanya multirealitas, multisemesta, multidimensi, dan segala multi semacam itu. Jika kesemuanya itu ada, masing-masing darinya memiliki kehidupan entah bagaimana wujud dari kehidupan itu, yang berarti kita sama-sama asing dalam hal ini, dan itu berarti ada kemungkinan besar bahwa terdapat entitas agung yang tak bisa kita bayangkan kemampuannya, entah berkuasa, entah mencipta, entah dengan kekuatan apa pun yang tak bisa kita bayangkan, entah mereka melihat kita atau tak tahu apa pun tentang kita, yang jelas kita itu ada dan mereka itu ada.”

Perempuan terkekeh-kekeh mendengar penjelasan itu.

“Kau paham maksudku, kan?”

Perempuan mengangguk. “Iya,” balasnya. “Sesuatu itu, atau siapa pun itu, yang jelas tak bisa dan tak mungkin mudah dipahami manusia pada umumnya, kan?”

“Agama-agama memudahkannya dan menyebutnya Tuhan,”

“Mungkin memang Tuhan.”

“Ya, atau Tuhan-Tuhan karena aku tidak bilang hanya ada satu wujud.”

“Aku paham.”

“Seperti mikroba, maksudku,” Ia melanjutkan. “Mikroba tak akan tahu ada entitas bernama manusia, kan? Mereka tidak tahu akan adanya wujud-wujud lain yang lebih besar darinya. Bagi mereka, dunia hanyalah sebatas yang mereka lihat. Mereka tidak tahu selama ini kita mengamati mereka dengan mikroskop.”

“Jadi, kita Tuhan dari mikroba-mikroba?”

“Jangan gunakan istilah Tuhan lagi. Kubilang ‘entitas’ lain, kan?”

“Tadi kau bilang Tuhan.”

“Baiklah kuralat.”

“Boleh juga,” balas Perempuan. “Lucunya, bisa saja mikroba itu seperti kita.”

“Maksudmu?”

“Kita tidak tahu ada entitas lain yang lebih kecil dari dari mikroba, dan mikroba-mikroba bisa saja mengamati entitas itu dengan mikroskop atau alat semacam itu, dan entitas yang lebih kecil tidak tahu akan adanya mikroba, apalagi adanya kita. Koneksinya hanya berjalan satu arah.”

Ia terdiam selama beberapa saat. “Atau...” ujarnya lirih. “Kita seperti mikroba.”

“... tidak tahu ada entitas lain yang mengamati kita dari mikroskop selama ini? Sepanjang waktu? Dan tidak kita sadari karena koneksinya hanya satu arah?”

Ia mengangguk. “Entitas lebih besar yang bisa setiap saat mendatangkan kemusnahan bagi kita dengan sekali tepukan tangan.”

“Kiamat. Tamat.”

****

Di kamar sebelah, seorang pemuda mati dengan wajah penuh luka dan leher tercabik pecahan botol minuman keras.

****

Malam itu aku menemanimu mengambil sebuah atom primordial. Kau genggam erat, lantas menaruhnya di saku dadamu.

“Mari ciptakan semesta-semesta,” katamu.

“Semesta seperti apa?” balasku.

Kau urung menjawab, justru mengajakku memasuki kamarmu. “Kita adalah penguasa-penguasa semesta. Dari atom primordial ini akan melahirkan begitu banyak kemungkinan. Pahlawan-pahlawan. Para penjahat. Para pembenci dan yang penuh kasih. Pun orang-orang seperti kau dan aku,”

Kau ambil atom primordial dari dadamu, lantas melemparnya ke udara kosong. Menunggunya meledak, sementara kita saling merengkuh di bawahnya, membiarkan ledakan besar terjadi dan menciptakan semesta baru.

Kami para penguasa.

Setiap semesta tercipta, selalu ada perempuan yang melempar atom primordial dari dadanya dan tidur dengan lelaki yang ia percaya.

Post a Comment

0 Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

To Top