Perempuan ini Meniduri Semua Lelaki yang Dia Temui

0



Mungkin badai yang kembali datang mengempas semua pasir yang menimbun tubuhnya, pun mengempas bukit-bukit yang ada di sekitarnya. Begitu badai berakhir berjam-jam kemudian, atau entah bertahun-tahun kemudian karena ia melupakan konsep waktu, ia kemudian ia bangun dengan tertatih-tatih. Berjalanlah ia kembali ke arah pohon jati yang ada di ujung pandangannya. Sore hari kala itu, ketika bentangan langit di atas sana merah membara tanpa awan dan matahari menyengat begitu terik.

Ia melangkah begitu pelan sehingga begitu ia sampai di depan pohon jati itu hari telah nyaris pagi. Ia sampai. Ia kelelahan. Ia kedinginan. Ia jatuh tertunduk di hadapan pohon jati, lantas mengubah posisinya pelan-pelan menjadi duduk bersandar sambil berusaha mengatur napasnya yang berantakan. Ia terlalu lelah untuk menduga-duga apa yang akan terjadi berikutnya, sampai akhirnya ia tertidur.

Ia bermimpi tentang anak perempuan berambut keriting yang ia temui setiap satu tahun sekali. Perempuan yang bukan berasal dari waktunya. Atau yang bukan berasal dari realitasnya. Atau entah perempuan dari mana. Ia menangis mengenang perempuan itu sekalipun ia tidak mengenalnya sama sekali.

Begitu ia terbangun hari telah berubah terik dan ia masih duduk bersandar tak berdaya di pohon jati yang berdiri kokoh di belakangnya. Ada sesuatu di genggaman tangannya entah apa. Ia membukanya dan melihat sebuah benih yang entah benih apa. Pun ia tak paham kenapa ia bisa memilikinya.

Pelan-pelan ia bangun dan berdiri menghadap pohon jati di depannya, lantas diletakkan telapak tangannya ke batang pohon yang begitu kokoh itu. Tiba-tiba saja matanya membeliak lebar dan ia terlempar ke ledakan-ledakan dahsyat di awal terciptanya semesta, lantas terdorong ke dunia penuh cabang, terseret mengikuti salah satu cabang, lantas terlempar dan terhenyak di sebuah halaman berumput begitu keras. Malam hari dengan purnama lebar kala itu.

“Akhirnya kau datang juga!” suara perempuan.

Entah bagaimana semua kelelahannya sirna sudah. Ia bangkit berdiri dan melihat perempuan seusianya yang berlari dan memeluknya. “Ayo, kamarnya sudah kusiapkan!”

Perempuan itu adalah perempuan yang hadir di mimpinya, hanya saja bukan gadis kecil seperti yang ia lihat. Gadis kecil itu telah tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan kecantikan alami dan tubuh yang begitu indah.

Perempuan itu menariknya ke dalam rumah serba putih dengan langkah yang sangat hati-hati sementara suara perempuan lain yang mendesah keras menggema di rumah itu.

“Sialan, Ibu sangat menikmatinya malam ini,” ia mengomentari suara perempuan itu. “Ada dua lelaki bersamanya.” Ia tertawa-tawa kecil sambil membuka kamarnya.

“Aku tahu kita tidak mungkin menikah. Lagipula kau dari dunia berbeda, kan. Tetapi tetap saja kita bisa bersenang-senang.”

“Apa maksudmu?”

“Bersenang-senang,” ia mengulanginya sambil melepaskan kaus cokelat yang ia kenakan. “Seperti setiap tahun yang kita lakukan. Kenapa kau selalu lupa?” ia berbaring di ranjang, lantas melepaskan celananya. “Ayo, kau yang lanjutkan!” pintanya menggoda.

Meski sempat ragu-ragu, siapa juga yang bisa menolak godaan perempuan secantik itu. Ia meladeni si perempuan, melepaskan sisa pakaian yang dikenakannya, kemudian mulai bercumbu dengan hebat, bahkan perempuan itu mampu mengimbangi desahan-desahan ibunya sendiri di kamar sebelah. Mereka berdua mengalami orgasme berkali-kali sampai akhirnya mereka tidur telanjang sambil saling memeluk.

“Nanti jika aku punya anak, aku akan menamainya dengan namamu,” gumam perempuan itu lirih.

Esok harinya saat ia bangun, ia sudah berada di hadapan pohon jati di gurun pasir, berdiri mematung di depannya sambil terheran-heran tentang segalanya. Satu hal yang pasti, tak ada lagi benih pohon yang sebelumnya ada di genggamannya.

Angin menderu kencang di sekitarnya.

“Kau siap bertemu dengannya.”

Suara itu menggelegar dan seolah berasal dari si pohon jati.

Ia mengangguk. “Aku sudah siap sejak pertama kali datang.”

Terdengar suara tawa berulang-ulang. “Bukan kau yang menentukannya. Kau bahkan melupakan masa lalumu.”

“Yang tadi itu?”

“Yang mana saja,” balas si pohon jati. “Sekarang bersiaplah menemuinya.”

Dan realitas memudar di sekelilingnya, berubah menjadi hamparan kelabu yang bergumul-gumul. Lantas ia berjalan pada realitas itu menuju entah, sampai akhirnya ia bertemu dengan ingatan Perempuan.

Lelaki melihatnya, seorang perempuan dengan dahi lebar dan mata cenderung cekung ke belakang dengan gurat pilu di wajahnya, sementara rambutnya yang hitam ia gelung di belakang. Ia tengah duduk di sebuah kursi. Sebuah meja dengan gelas kosong ada di depannya, pun tumpukan buku berada di sebelah gelas kosong, beberapa terbuka, beberapa lagi rapat tertutup entah kapan terakhir kali dibuka.

Ia berada di ruangan dengan jendela kaca, namun di luar ruangan hanya ada warna kelabu kosong tanpa apa pun.

Lelaki tiba di hadapan perempuan.

“Kopinya enak?” entah apa yang membuat Lelaki menanyakan pertanyaan itu. Entah bagaimana pula ia tahu gelas kosong di meja itu tadinya berisi kopi. Pun entah siapa yang membuatkan kopi itu.

“Enak,” balas perempuan lirih, tanpa memandang lelaki. “Aku datang beberapa kali, memesan beberapa kali, tetapi ini yang paling enak,” sambungnya pelan. “Aku langsung menghabiskannya dalam beberapa menit.” Ia mengambil buku tulisnya, lantas mulai menuliskan sesuatu di sana dengan wajah serius. “Duduklah, kusambi mengerjakan tugasku, ya,”

Lelaki terheran-heran. Ia tidak melihat kursi lain di ruangan itu, tetapi Perempuan memintanya duduk. Di mana ia harus duduk?

“Oh,” seolah menyadari kebingungan Lelaki, Perempuan menghentikan sejenak aktivitas menulisnya, lantas mengibaskan pelan telapak tangannya. Saat itu pula sebuah sofa muncul di belakang Lelaki. “Silakan,” ujarnya tanpa memandang Lelaki.

Lelaki duduk di sofanya. Diam memandang Perempuan yang seolah tak menggubrisnya sama sekali. “Sejak kapan kau di sini?”

“Baru beberapa saat,” balas Perempuan, masih sibuk dengan kegiatannya menulis entah apa. “Aku ingin memesan kopi ini lagi sepertinya. Kau juga mau?”

“Aku nanti saja.” Lelaki menjawab. Ia tak tahu kepada siapa Perempuan akan memesan kopi yang ia bicarakan. Tak ada siapa pun di tempat itu selain mereka berdua. Di luar ruangan itu hanya berupa warna kelabu yang semakin lama semakin pekat.

“Kau tersesat, ya?” beberapa helai rambut  Perempuan terurai ke dahinya sehingga ia harus menyibakkan pelan ke sela-sela daun telinga.

“Benar.”

“Kau belum pernah tersesat, ya?”

“Benar,” balas Lelaki. “Ini ingatanmu? Pelukis Tunggal mengatakan aku akan bertemu dengan ingatan-ingatanmu.”

Barulah Perempuan mengalihkan pandangan dari buku tulisnya ke arah mata Lelaki. “Maksudmu?” tatapannya bertanya-tanya.

“Entahlah. Rasanya tak masuk akal tetapi aku bertemu dengan seorang Alkemis dan Pelukis Tunggal. Tak ada ruang dan gravitasi di realitas ini, dan aku harus bertemu denganmu.”

“Tak ada gravitasi?” tanya Perempuan. “Jika kujatuhkan gelasku dari meja, menurutmu apa yang terjadi?”

Lelaki bergeming beberapa saat.

“Jatuh, kan?” lanjut Perempuan. “Malah pecah barangkali.”

“Bukan di sini.”

“Lantas?”

“Seperti di luar sana,” balas Lelaki. “Tak ada ruang, hanya hamparan kosong. Tak ada gravitasi di luar sana.”

“Apa maksudmu? Di luar sana ada pembuat kopiku. Ada jalanan penuh dengan mobil. Ada tanah. Ada hujan. Ada terik. Ada siang. Ada malam.” Perempuan menoleh ke luar jendela.

Namun sejauh apa yang ditangkap mata Lelaki, hanya ada warna abu-abu di balik jendela. “Apa iya?”

Perempuan mengangguk. “Omong-omong, kenapa kopiku lumayan lama datangnya ya? Biasnya cepat. Pembuat kopiku selalu membuatnya dengan cepat.”

“Mungkin ramai,” balas Lelaki.

“Sekalipun ramai, aku selalu didahulukan,”

Tunggu. Lelaki tak pernah melihat Perempuan meninggalkan kursinya sama sekali untuk memesan kembali kopinya. “Kau belum pesan,”

“Apa maksudmu?” tanya Perempuan. “Tadi aku kan berpamitan sebentar untuk membeli kopi. Bahkan aku menawarimu.”

“Iya kau menawariku, tetapi kau tak pernah beranjak.”

Perempuan tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau tidak sedang sakit, kan?” tanyanya.

“Apa iya aku sakit?” Lelaki seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak,” sambungnya. “Aku tersesat ke realitas tanpa ruang dan gravitasi, bertemu dengan Alkemis dan Pelukis Tunggal, dan aku harus menemukanmu.”

Perempuan kembali tersenyum, namun senyumannya kali ini sangat lebar. “Kau ini,” komentarnya.

Barulah Lelaki sadar akan alasannya kenapa ia menemui Perempuan. “Kenapa kau mendistorsi segalanya?” suaranya sedikit parau.

Ada jeda lumayan panjang setelah pertanyaan itu ia ucapkan, dan beberapa saat yang panjang itu digunakan Perempuan untuk menyandar ke punggung kursinya, menutup buku tulisnya, lantas memejamkan mata. “Itu pertanyaan yang benar.”

Post a Comment

0 Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

To Top