Perempuan yang Menjadi Supernova

0



Ada perasaan kosong menggantung setiap kali terbangun di kamar yang bukan milikku. Asing. Rasanya tubuhku menjadi bagian milik orang lain. Sialan, silau sekali jendela di samping ranjangku tidur. Kutatap ia. Mengernyit. Ternyata memang silau. Kugunakan punggung tanganku untuk menghalau, namun sia-sia belaka. Ke mana pula gorden jendela di saat-saat seperti ini? Siapa bajingan yang melepasnya? Pun, Matahari memang menyebalkan, kurasa sehingga aku bertanya-tanya kapan reaksi fusi nuklirnya habis sehingga ia melontarkan permukaan panasnya, lantas ia runtuh menjadi bintang katai putih. Waktu itu terjadi pasti aku tidak perlu repot-repot menghalau cahayanya yang sialan dengan punggung tanganku, pun mungkin aku mati dalam proses ledakannya. Persetan. Tak hanya aku, lelaki bajingan yang tidur seperti mati di sebelahku juga pasti akan lebur menjadi binasa.

Aku enggan bangun. Tubuhku telanjang di balik selimut, demikian pula lelaki yang sepertinya mati di sebelahku. Biar saja jika ia memang mati, aku tak keberatan. Atau, jika ternyata ia masih hidup, kubunuh saja ia nanti, kucabik-cabik dadanya dan akan kutertawakan jeritan kesakitannya, lantas aku akan menjelma Supernova. Meledak. Runtuh. Pun menjadi lubang hitam.

*_*_*_*

Lelaki itu berkata aku serupa Jupiter—Raksasa, melenakan, pun terdapat badai tiga ratus tahun di sana—sementara ia adalah Bumi yang dariku ia bersembunyi dari serbuan asteroid. Ia Bumi, aku Jupiter—ia bisa memasuki tubuhku di manapun, berkali-kali, di seluruh tempat, dan selalu ada ruang kosong yang masih bisa dihuni planet lain. Suatu ketika, ia masuk tepat ke pusat badai tiga ratus tahun—badai terbesar di tatasurya—lantas kulumat dan kuremukkan ia.

*_*_*_*

Aku bangun. Meronta-ronta. Kukunyah jantung lelaki yang telah meniduriku.

*_*_*_*

Sejak kecil aku ingin menjadi Supernova. Lelaki itu yang menceritakan banyak hal tentang ada apa jauh di langit sana. Planet, bintang, galaksi, nebula, singularitas, dan tentunya Supernova.

“Adakah surga dan neraka?” selaku.

“Tidak pernah ada.” Ia menjawab. “Kita semua berasal dari Pikiran Tunggal yang terhanyut di Lautan Kosmik. Kau adalah aku. Kau dan aku adalah semua orang. Semuanya adalah satu hal. Orang-orang terlalu dungu untuk menyadarinya.” Ia melanjutkan. “Tetapi kau bisa merasakan yang kau sebut surga itu jika melihat Supernova.”

Katanya, jika aku melihat Supernova, aku akan terlena dan melupakan bahwa surga dan neraka pernah ada dalam ingatanku. Menurut Lelaki itu, ketika sebuah bintang meledak cahayanya akan terburai-burai dengan skala masif dan memunculkan segala warna, pun warna-warna yang sebelumnya tak pernah teridentifikasi oleh pengetahuan manusia. Gelegarnya akan menggetarkan jantung dan terdapat kenikmatan luar biasa yang akan kurasakan. Kurasa ia hanya membual, karena setahuku tak pernah ada bintang yang menjadi Supernova di langit malam yang bisa kita pandangi dengan mata telanjang. Meski demikian, aku tetap terpana.

“Aku mau menjadi Supernova,” kataku. Lelaki itu mengatakan aku bisa dan ia akan membantuku.

Satu demi satu ia melepaskan bajuku dan berjanji aku akan merasakan Supernova.

*_*_*_*

Aku mengenal Rigel, anak laki-laki seusiaku yang dungu. Aku dan ia menghabiskan waktu bersama-sama sejak berusia lima tahun, sejauh aku bisa mengingat. Kami bersekolah di tempat yang sama, mengerjakan PR bersama, tidur bersama, bahkan sesekali mandi bersama. Ia bodoh karena selalu tertawa setiap kali kami mandi bersama. Aku pintar. Tidak tertawa.

Saking dungunya, ia bahkan tidak tahu namanya diambil dari nama bintang paling terang di konstelasi Orion—meski entah kenapa Rigel tidak dinamakan Alpha Orion. Ia baru tahu pada suatu malam kuceritakan ia tentang bintang-bintang. Ia ternganga—tipikal orang dungu. Kuceritakan pula aku ingin menjadi Supernova, bahkan pernah mencoba merasakan menjadi Supernova beberapa kali setiap Lelaki teman ayah datang ke rumah. Aku dan lelaki itu akan tidur bersama dengan pintu yang kukunci, kemudian satu per satu pakaianku terlepas. Diceritakannya tentang Jupiter dan Bumi. Aku Jupiter, Ia Bumi. Ia bebas memasuki tubuhku kapan pun ia mau dan aku harus bisa, sebatas karena aku adalah Jupiter. Aku akan meledak dalam beberapa menit kemudian bersamaan dengan lelaki itu yang buru-buru keluar dari tubuhku.

Rigel membenciku setelah itu.

*_*_*_*

“Ketika kau ingin menjadi Supernova nanti, jangan kunci kamarmu.” Rigel berkata suatu hari setelah kebenciannya mereda perlahan-lahan.

“Kenapa?”

“Lakukan saja. Akan kuberi kejutan,” tegasnya.

“Em... baiklah.”

Kami baru berumur sebelas tahun kala itu. Entah apa yang ingin Rigel lakukan karena pada dasarnya ia sangat dungu.

*_*_*_*

Syarat menjadi Supernova adalah sebuah bintang harus mati terlebih dulu. Pun bintang itu harus memiliki massa yang cukup untuk meledakkan dirinya sendiri karena jika massanya kurang, bintang itu hanya akan melepaskan permukaan panasnya tanpa sebuah dentuman menggelegar.

Malam itu aku baru sadar bahwa aku tidak pernah bisa menjadi Supernova, sekalipun Lelaki Bumi itu keluar masuk tubuhku berkali kali, ledakan yang kurasakan kurang sekuat Supernova. Massaku terlalu kecil, Rigel yang mengatakannya kepadaku. Ia datang dari balik pintu, berteriak dengan tangannya menggenggam sebilah pisau yang berkilat mematikan. Ia menerjang, menghunjam dada lelaki yang menjamahiku, lantas mengoyak dadanya, barulah ia tertawa sekeras yang ia bisa ketika lelaki dengan dada berlubang itu ambruk tak bernyawa.

Aku dan Rigel dipisahkan sejak malam itu, dan tak satu pun dari kami yang akan memiliki teman.

*_*_*_*

Aku terus berusaha menjadi Supernova. Ledakan demi ledakan yang kualami bersama ratusan lelaki nyatanya belum cukup menjadikanku Supernova.

*_*_*_*

Suatu siang tubuhku melayang-layang di atas jalanan ibukota yang padat. Aku tak memiliki sayap, tetapi entah bagaimana aku bisa berada puluhan meter dari permukaan jalan. Pun tak ada tali di sekujur tubuhku yang bisa menjadi pengait. Karena heran, aku bertanya kepada kerumunan orang yang keluar dari mobil dan memandangiku.

“Kenapa aku melayang?” teriakku.

Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya bergumam-gumam keheranan sehingga menimbulkan suara gaduh.

“Turunlah. Apa yang kau mau di atas sana?” teriak salah satu dari mereka.

“Aku ingin menjadi Supernova!”

Kurasakan sesuatu yang hangat dan berbau amis mengalir di pahaku, disertai rasa nyeri yang semakin lama semakin menyiksa di bagian selangkanganku. Darah memburai, menghujani jalanan yang penuh dengan kerumunan orang di bawah sana.

Aku berteriak histeris. Jatuh.

Satu jam kemudian seseorang meledakkan diri di sebuah kamar apartemen yang jendelanya sangat sialan karena tidak bergorden.

*_*_*_*

Surat kabar, media online, dan acara-acara TV dihebohkan dengan rangkaian peristiwa yang terjadi selama satu minggu penuh. Seorang perempuan melayang dengan kemaluan memburaikan darah, ratusan istri pejabat hamil mendadak dan langsung melahirkan, juga munculnya pemuda yang meledakkan dirinya di sebuah kamar apartemen tanpa motif jelas.

*_*_*_*

Post a Comment

0 Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

To Top